Jumat, 01 April 2016

STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA

STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA
Oleh : ARIFUDDIN



LATAR BELAKANG
            Presiden pertama Indonedia, Soekarno, pernah berkata, “There is no nation-building without character-buildin.”. (Tidak akan mungkin membangun sebuah negara kalau pendidikan karakternya tidak dibangun). Ini menandakan betapa pentingnya pendidikan karakter atau pendidikan moral dalam membangun jati diri sebuah bangsa. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
            Bagi Indonesia pendidikan karakter berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme.
            Pendidikan adalah merupakan kegiatan universal dalam kehidupan manusia, baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Pengaruh serta timbal balik pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat sangatlah penting karena sangat menentukan dalam pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan. Demikian pula halnya dengan pendidikan karakter. Tanggung jawab pendidikan karakter tidak hanya berada pada pundak guru sebagai tenaga pendidik di sekolah. Keberhasilan pendidikan karakter sangat ditentukan bagaimana setiap masing-masing lingkungan pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, bekerja sama dan berperan secara sinergi dalam rangka pendidikan karakter tersebut.
            Agar tujuan pendidikan karakter yang dilaksanakan oleh masing-masing lingkungan pendidikan dapat berjalan secara optimal perlu adanya penataan potensi dan sumber daya serta rencana tindakan yang dijalankan demi efektifitas dan efesiensi dalam mencapai tujuan, yang dikenal dengan istilah strategi pelaksanaan.  

STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER

Strategi Pendidikan
            Menurut Bryson (1999: xvi) kata strategi berasal dari kata Yunani yaitu strategos yang artinya “a general set of maneuvers cried out over come a enemy during combat” yaitu semacam ilmunya para jenderal untuk memenangkan pertempuran. Menurut Rahajoekoesoemah (1993: 1388) dalam kamus Belanda-Indonesia, strategi berasal dari kata majemuk, yang artinya siasat perang, istilah strategi tersebut digunakan dalam kemiliteran sebagai usaha untuk mencapai kemenangan, sehingga dalam hal ini diperlukan taktik serta siasat yang baik dan benar. Dalam kamus bahasa Indonesia sendiri (Depdikbud, 1989: 859) strategi diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran tertentu. Adapun menurut Arifin (1991: 58) strategi adalah segala upaya untuk menghadapi sasaran tertentu dalam kondisi tertentu untuk mencapai hasil secara maksimal. Kata strategi menurut Kasali (1994: 173) mempunyai pengertian yang terkait dengan hal-hal kemenangan, kehidupan, atau daya juang. Artinya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan mampu tidaknya individu atau lembaga menghadapi tekanan yang muncul dari dalam maupun dari luar.
            Dari pengertian di atas, secara garis besar strategi adalah segala upaya yang digunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, dalam semua bidang baik bidang pendidikan atau bidang lainnya. Dan strategi yang dibuat digunakan untuk meningkatkan usaha dan hasil agar terjadi perkembangan yang lebih baik.
            Strategi dasar dari setiap usaha menurut Newman dan Logan (dalam Rusyan, 1989: 213) mencakup 4 hal yaitu :
(1)   Pengidentifikasian dan penetapan spesifikasi serta kualifikasi hasil yang harus dicapai dan menjadikan sasaran usaha dengan memperhatikan aspirasi dan selera masyarakat;
(2)   Pertimbangan dan pemilihan jalan pendekatan yang ampuh dalam mencapai sasaran;
(3)   Pertimbangan dan penetapan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mencapai sasaran;
(4)   Pertimbangan dan penetapan tolak ukur yang baku untuk mengukur tingkat keberhasilan.
            Adapun dalam dunia pendidikan, menurut David (dalam Sanjaya, 2008: 2) strategi diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal. Strategi pendidikan diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan Arifin (1991: 60) berpendapat bahwa strategi pendidikan adalah seni mendayagunakan suatu faktor untuk mencapai sasaran pendidikan dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat yang ada termasuk juga masalah hambatan-hambatan fisik maupun nonfisik
            Apabila unsur strategi dasar seperti yang diungkapkan di atas diterapkan dalam pendidikan, maka strategi pendidikan mencakup :
(1)   Pengidentifikasian secara spesifik terhadap perubahan tingkah laku dan pribadi peserta didik seperti apa dan bagaimana perubahan tersebut dicapai.
(2)   Pemilihan dan penetapan pendekatan, yang digunakan yang dipandang efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan serta menjadi pegangan para pendidik dalam melaksanakan kegiatan pendidikan.
(3)   Pemilihan dan penetapan prosedur, metode, serta teknik belajar mengajar yang efektif dan efesien.
(4)   Penetapkan norma-norma dan batas minimum keberhasilan atau kriteria keberhasilan kegiatan pendidikan yang dilaksanakan.
            Strategi pendidikan juga digunakan untuk menyelesaikan atau meminimalkan permasalahan-permasalahan serta hambatan-hambatan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Selain itu strategi pendidikan juga dipandang dapat memberikan bantuan agar pendidikan dapat berkembang lebih maju dan lebih baik. Menurut Buchori (1994: 12) ada dua strategi yang dapat diterapkan dalam menghadapi permasalahan dalam pendidikan, yaitu :
(1)   Strategi pengembangan sistem, yang berisi langkah-langkah dasar yang dapat ditempuh untuk mendorong berbagai lembaga pendidikan untuk saling bersentuhan, saling mengenal, saling membantu, dan saling mendekati.
(2)   Strategi pengarahan sistem, yang berisi langkah-langkah yang dapat ditempuh dengan meletakkan hubungan langsung antara program pendidikan yang akan diselenggarakan dengan sejumlah persoalan-persoalan nyata yang terjadi dalam masyarakat.
            Jika dikaitkan dalam proses pembelajaran, dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga sering kali kita merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah tersebut antara lain yaitu: strategi pembelajaran dan metode pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan istilah-istilah tersebut dengan harapan dapat memberikan kejelasan tentang penggunaan istilah tersebut. (Sanjaya, 2008: 126) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran David, Sanjaya (2008: 126) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, strategi pada dasarnya masih bersikap konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran.. Sedangkan yang dimaksud dengan metode pembelajaran adalah cara yang digunakan pendidik dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada saat proses pembelajaran (Sudjana, 2005: 76), atau cara menyajikan materi pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri peserta didik dalam upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran (Sutikno, 2009: 88). Sehingga dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran adalah perencanaan tindakan yang sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikan rencana tersebut digunakanlah berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, menurut Hosna dan Samsul (2015: 147) strategi pembelajaran merupakan “a plan of operation achieving something”, sedangkan metode adalah “a way in achieving something”.

Pendidikan Karakter
            Penguatan pendidikan karakter dalam konteks kekinian sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan terhadap anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan narkoba, pornografi, dan perusakan milik orang lain, sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Dan pendidikan karakter merupakan pintu masuk yang relevan dalam mengatasi problem-problem sosial tersebut.
            Berbicara tentang pendidikan karakter, ada dua kata kunci yang perlu dimaknai yaitu “pendidikan” dan “karakter”. Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu  pendidikan di masyarakat, didesain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat. Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan.
            Islam sebagai sebuah sistem kehidupan telah menawarkan solusi pemecahan masalah yang paling mendasar bagi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia, baik itu berkaitan dengan masalah material, spiritual, sosial, politik, atau pun peradaban yaitu dengan pendidikan. Karena pendidikan menurut Langgulung (1988: 308) bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dan kepribadian total manusia dalam segala aspeknya; spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah dan linguistik, untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan, dalam rangka merealisasikan penyerahan mutlak dan penghambaan diri kepada Allah SWT pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya.
            Dalam dunia pendidikan, terdapat dua istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie dan paedagogiek. Menurut Purwanto (2007: 3) paedagogie artinya pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan. Pedagogik atau ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak-anak.
            Marimba (dalam Tafsir, 2008: 6) mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Sedangkan menurut Poerbakawatja (dalam Zuhairini, 1995: 120) pendidikan merupakan semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamanya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah.
            Sementara itu, berdasarkan landasan hukum pelaksanaan pendidikan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, banga dan negara.
            Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan adalah suatu yang sangat penting dan mutlak bagi manusia, karena pada dasarnya pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia.
            Adapun  kata karakter berasal dari bahasa Latin “kharakter”, “kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris “character”, dalam bahasa Yunani “character” dari asal kata “charassein”, yang membuat dalam atau membuat tajam (Majid & Dian, 2010: 11). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kemdikbud, 2008) mempunyai dua arti yaitu: (1)  tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak; dan (2) huruf, angka, ruang, simbol khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik. Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan karakter adalah arti kata yang pertama.
            Menurut Majid dan Dian (2010: 11) karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Khan (2010: 1) memandang bahwa karakter adalah sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis. Imam Ghazali (dalam Majid & Dian, 2010: 11) menganggap karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
            Dari beberapa definisi karakter tersebut dapat disimpulkan secara ringkas bahwa karakter adalah sikap, tabiat, akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis; sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral; watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan, yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.
            Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi tentang pendidikan dan karakter yang telah disampaikan terdahulu, secara sederhana dapat diartikan bahwa pendidikan karakter adalah upaya sadar yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang (pendidik) untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada seseorang yang lain (peserta didik) sebagai pencerahan agar peserta didik mengetahui, berfikir dan bertindak secara bermoral dalam menghadapi setiap situasi.
            Lickona (1992: 12-22) berpendapat bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak dengan landasan nilai-nilai etis. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).
Thomas Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.
            Khan (2010: 34) memandang pendidikan karakter adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya dan upaya secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik. Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budi pekerti yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap manusia untuk memiliki kompetensi intelektual, karakter, dan keterampilan menarik. Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dihayati  adalah religius, nasionalis, cerdas, tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, dan arif, hormat dan santun, dermawan, suka menolong, gotong-royong, percaya diri, kerja keras, tangguh,  kreatif,  kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi, solidaritas, dan peduli.
            Sedangkan menurut Ramli seperti yang dikutip Gunawan (2012: 23-24) pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik , dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia itu sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
            Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai upaya yang terencana untuk menjadikan anak didik mengenal, peduli, dan menginternalisasikan nilai-nilai kebajikan sehingga ia menjadi insan kamil. Pendidikan karakter juga dapat diartikan sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada manusia yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang sempurna.
            Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan dan hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia menurut Gunawan (2012: 32) nilai-nilai karakter dapat dikelompokkan dalam lima yaitu:
(1)   Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan  dengan Tuhan Yang Maha Esa;
(2)   Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan diri sendiri;
(3)   Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan sesama manusia;
(4)   Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan lingkungan sekitar;
(5)   Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan kebangsaan.

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
            Ki Hajar Dewantara (dalam Ahmadi dan Uhbiyati 1991: 50) mengemukakan sistem tri centra pendidikan dengan menyatakan : “Di dalam hidupnya anak- anak ada tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya yaitu alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan pemuda”. Pendapat ini mendasari lahirnya istilah Tri Pusat Pendidikan yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan keluarga dikenal dengan pendidikan informal, pendidikan sekolah sebagai pendidikan formal, dan pendidikan pada masyarakat dikenal sebagai pendidikan nonformal. Dan ketiga pusat pendidikan ini mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk kepribadian serta tingkah laku anak didik.
            Pengertian keluarga secara etimologi terdiri dari perkataan”kawula” dan “warga”. Yang berarti kawula adalah abadi dan warga adalah anggota. Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Iwan, 2012: th) berarti kumpulan individu yang memiliki rasa pengabdian tanpa pamrih demi kepentingan seluruh individu yang bernaung di dalamnya.
            Berikut pandang beberapa ahli tentang keluarga. Murdock (dalam Iwan, 2012: th) keluarga adalah suatu kelompok sosial yang ditandai oleh tempat tinggal bersama, kerjasama ekonomi, dan reproduksi. Rertrand (dalam Iwan, 2012: th) keluarga adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh pertalian kekeluargaan, perkawinan, atau adopsi yang disetujui secara sosial, yang umumnya sesuai dengan peranan-peranan sosial yang telah dirumuskan dengan baik. Roucek dan Warren (dalam Iwan, 2012: th) keluarga adalah kelompok inti yang paling penting dan dengannya seseorang itu berhubungan. Nye dan Bernado (dalam Iwan, 2012: th) keluarga adalah dua orang atau lebih yang dipersatukan melalui perkawinan atau ikatan darah yang biasanya secara bersama menempati tempat tinggal yang sama.
            Dari beberapa pengertian yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok yang terkandung dalam pengertian keluarga adalah: (1) hubungan keluarga dimulai dengan perkawinan atau dengan penetapan pertalian kekeluargaan; (2) hubungan keluarga berada dalam batas-batas persetujuan masyarakat; (3) anggota keluarga dipersatukan oleh pertalian perkawinan, darah, dan adopsi sesuai dengan adat istiadat yang berlaku; (4) anggota keluarga secara khas hidup secara bersama pada suatu tempat tinggal yang sama; (5) interaksi dan kerja dalam keluarga berpola pada norma-norma, peranan-peranan dan posisi-posisi status yang ditetapkan oleh masyarakat; dan (6) dalam keluarga terjadi reproduksi.
            Keluarga dapat berbentuk  keluarga inti atau nucleus family yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, ataupun keluarga yang diperluas (disamping keluarga inti, ada orang lain seperti kakek/nenek, adik/ipar, pembantu, dan lain-lain). Pada umumnya jenis kedualah yang banyak ditemui dalam kekuarga Indonesia. Meskipun ibu merupakan anggota keluarga yang mula-mulanya paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, namun pada akhirnya seluruh anggota keluarga itu ikut berinteraksi dengan anak. Disamping faktor iklim sosial itu, faktor-faktor lain dalam keluarga itu ikut pula mempengaruhi tumbuh kembangnya anak, seperti kebudayaan, tingkat kemakmuran, keadaan perumahaannya, dan sebagainya.
            Al Qur’an mempresentasikan kata keluarga melalui kata “ahl”. Informasi yang diberikan oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqy (dalam Nata, 1997: 115) tentang kata keluarga di dalam al-Qur’an diulang sebanyak 128 kali dan sesuai dengan konteksnya, kata-kata dimaksud tidak selamanya menunjukan pada arti keluarga sebagaimana dimaksudkan di atas, melainkan punya arti yang bermacam-macam. Pada surat al-Baqarah ayat 126, misalnya kata keluarga diartikan sebagai penduduk suatu negeri. Selain itu surat an-Nisa ayat 58 mengartikan keluarga sebagai orang yang berhak menerima sesuatu. Selebihnya kata “ahl” Pada beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan pengertian keluarga adalah: Q.S. Hud: 46, (Hai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu); Q.S. an-Nisa: 4 ( … maka kirimkanlah orang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan).
            Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan pertama dan utama. Daradjat (1995: 41) berpandangan bahwa keluarga dalam hal ini kedua orang tua,  memiliki tanggungjawab utama dan pertama dalam bidang pendidikan. Berbagai aspek yang terkait dengan keluarga selalu mempertimbangkan dengan peran keduanya sebagai pendidik tersebut. Ia berpendapat bahwa pembentukan identitas anak menurut Islam sudah dimulai sejak anak dalam kandungan, bahkan sebelum membina rumah tangga pun harus sudah mempertimbangkan kemungkinan dan syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat membentuk pribadi dan karakter anak. Dan Langgulung (2004: 292) berpendapat bahwa lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama bagi setiap individu berinteraksi, dan lewat interaksi yang terjadi tersebut individu memperoleh unsur-unsur dan ciri-ciri dasar kepribadiannya yang termanifestassi lewat akhlak, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan emosinya.
            Keluarga berfungsi untuk membekali setiap anggota keluarganya agar dapat hidup sesuai dengan tuntutan nilai-nilai religius, pribadi, dan lingkungan. Soelaeman dalam Sadulloh (2007: 175-178) mengemukakan beberapa fungsi keluarga sebagai berikut:
(1)   Fungsi Religius 
            Fungsi ini diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana pembangunan insan-insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bermoral,berakhlak dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agamanya. Di sini orang tua berperan sebagai penyampai, penyeleksi dan penafsir norma-norma dalam kehidupan sehari –hari.
(2)   Fungsi Edukasi.
            Fungsi ini mengarahkan keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak – anaknya agar dapat menjadi manusia yang sehat, tangguh, mau dan mandiri,sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan yang semakin tinggi. Dalam arti mereka menjadi manusia yang matang dan dapat bertanggung jawab juga dapat dipertanggungjawabkan oleh masyarakatnya
(3)   Fungsi sosialisasi anak
            Dalam fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga memiliki tugas untuk mengentarkan dan membimbing anak agar anak dapat beradaptasi dengan kehidupan sosial (masyarakat) yang lebih luas, sehingga kehadirannya akan diterima bahkan mungkin bahkan dinantikan oleh masyarakat luas, karena banyak memiliki manfaat bagi orang lain yang ada di lingkungan masyarakatnya. Keluarga memiliki kedudukan sebagai penghubung anak dengan kehidupan sosial, meliputi penerangan, penyaringan nilai-nilai dan penafsirannya ke dalam bahasa yang dimengerti anak. Keluarga merupakan lembaga sosial di mana si anak mengadakan proses sosialisasi (belajar sosial atau mempelajari nilai-nilai sosial) yang pertama dalam kehidupannya.
(4)   Fungsi proteksi
            Fungsi ini mengarahkan dan mendorong keluarga agar berfungsi sebagai wahana atau tempat memperoleh rasa aman, nyaman, damai, dan tentram bagi seluruh anggota keluarga sehingga terpenuhi kebahagiaan batin, juga secara fisik keluarga harus melindungi anggota keluarganya supaya tidak kelaparan, kehausan, kedinginan, kepanasan, kesakitan, dll. Perlindungan mental dimaksudkan supaya itu orang itu tidak kecewa (frustasi) karena memiliki konflik yang mendalam dan berkelanjutan, yang disebabkan kurang pandai mengatasi masalah hidupnya. Perlindungan moral perlu dilakukan supaya anggota keluarga itu menghindarkan diri dari perbuatan jahat dan buruk.
(5)   Fungsi afeksi (perasaan)
            Fungsi ini diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana untuk menumbuhkan dan membina rasa cinta dan kasih sayang antara sesama anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya. Selain itu keluarga harus dapat menjalankan tugasnya menjadi lembaga interaksi dalam ikatan batin yang kuat antar anggotanya, sesuai dengan status peranan sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga itu. Ikatan batin yang dalam dan kuat ini harus dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga sebagai bentuk kasih sayang. Kasih sayang dan kehangatan yang diberikakan orangtua kalau terlalu berlebihan dapat memanjakan anak, sedangkan kalau terlalu kurang akan gersang atau kekeringan.
(6)   Fungsi ekonomi
            Fungsi ini diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana pemenuhan kebutuhan ekonomi, fisik dan material yang sekaligus mendidik keluarga hidup efisien ,ekonomis, dan rasional. Fungsi ekonomi meliputi pencariaan nafkah, perencanaan, serta penggunaan atau pembelajarannya. Pelaksanan fungsi ekonomi oleh seluruh anggota keluarga mempunyai kemungkinan menambah saling pengertian, solidaritas dan tanggung jawab bersama dalam keluarga.
(7)   Fungsi rekreasi
            Dalam menjalankan fungsi ini, keluarga harus menjadi lingkungan yang nyaman, menyenangkan, cerah, ceria, hangat dan penuh semangat. Melaksanakan fungsi rekreasi oleh seluruh anggota keluarga sangat penting karena dapat menyeimbangan kepribadiaan anggota keluarga, dan dapat menghindari atau setidaknya akan dapat mengurangi ketegangan yang mudah timbul dalam keadaan lelah. Rasa aman dan santai yang ditimbulkan rekreasi mempermudah munculnya kesenangan lahir batin, muncul saling mengerti, memperkokoh kerukunan dan solidaritas serta saling memperhatikan kepentingan masing-masing. Rasa nyaman dan betah dalam keluarga menimbulkan rasa sayang dan rasa memiliki kepada keluarga, serta keinginan untuk memeliharanya secara bersama-sama secara bekerjasama dan tanggung jawab.      Kebersamaan yang terjalin lewat rekreasi juga akan menghadirkan rasa saling menghormati serta memperhatikan kepentingan masing-masing anggota keluarga.
(8)   Fungsi biologis
            Fungsi ini diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana untuk menyalurkan kebutuhan reproduksi sehat bagi semua anggota keluarganya. Keluarga menjadi tempat untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti kebutuhan akan keterlindungan fisik seperti kesehatan, sandang, pangan dan papan dengan syarat-syarat tertentu sehingga keluarga memungkinkan seluruh anggotanya dapat hidup di dalammya, sekurang-kurangnya dapat mempertahankan hidup.

STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA
            Pendidikan merupakan sarana penting dalam proses pembentukan manusia seutuhnya. Melalui pendidikan, potensi-potensi manusia dapat dikembangkan dan diaktualisasikan sehingga manusia mampu menjadikan diri dan lingkungannya menjadi lebih sejahtera dan lebih baik, atau dengan kata lain menjadi manusia yang mulia. Tujuan pendidikan untuk memuliakan manusia dapat tercapai apabila proses pendidikan yang berlangsung dapat memfasilitasi pengembangan potensi manusia sebagai makhluk biososiopsikoreligius. Dengan demikian, lembaga pendidikan bertugas untuk mengembangkan kecerdasan intelektual, sosial, emosional, praktikal,serta moral dan spiritual.
            Dalam perjalanan proses pendidikan yang berlangsung di Indonesia, tampak adanya kesenjangan dalam memfasilitasi pengembangan potensi-potensi tersebut, sehingga menimbulkan disharmoni yang justru mengancam kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Semakin tingginya angka kemiskinan, kriminalitas, kekerasan, dan kerusakan alam merupakan indikasi belum tercapainya tujuan pendidikan kita.  Masalah-masalah tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain sehingga upaya mengatasinya tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi diperlukan reformasi pendidikan. Reformasi tersebut salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan karakter.
            Karakter adalah sifat-sifat mental, moral atau akhlak yang kuat dan khas, yang  membuat pemilik sifat-sifat tersebut berbeda dengan yang lain. Membangun karakter adalah proses mengukir jiwa, sehingga terbentuk jiwa yang unik, menarik dan lain daripada yang lain. Karakter tidak dapat dikembangkan secara instan, melainkan melalui proses panjang yang terus menerus. Oleh karena itu sinergitas tripusat pendidikan; keluarga, sekolah, dan masyarakat, dalam mengelola pendidikan harus terus dikembangkan. Terlebih lagi pendidikan dalam keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama bagi anak didik.

            Daradjat (1995: 41) berpendapat bahwa pendidikan anak menurut Islam sudah dimulai sejak anak dalam kandungan, bahkan sebelum membina rumah tangga pun harus sudah mempertimbangkan kemungkinan dan syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat membentuk pribadi dan karakter anak. Oleh karena itu penerapan strategi pendidikan karakter dalam keluarga juga harus sudah dimulai sebelum keluarga atau rumah tangga tersebut terbentuk.
            Berpandangan terhadap hal tersebut, maka strategi pendidikan karakter dalam keluarga dapat dibagi dalam beberapa kategori yaitu:
(1)   Pranikah
            Islam memerintahkan bagi siapa saja yang telah mampu dalam hal kemapanan dan nafkah untuk segera menikah. Dorongan utama perintah menikah tersebut adalah agar terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.  Dan strategi dalam mencari pasang untuk menikah, Islam telah mengajarkan agar mencari pasangan baik suami atau isteri yang baik kualitas agamanya. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 221 Allah berfirman :
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôtƒ n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôtƒ n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbr㍩.xtGtƒ ÇËËÊÈ  

Artinya :     “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Digital Qur’an)

            Strategi mencari pasangan hidup yang baik kualitas agamanya ini dilaksanakan dengan harapan dari pernikahan tersebut akan lahir dan tumbuh anak yang berkualitas dan berkarakter.
(2)   Pranatal
            Dalam buku Prenatal Classroom (1992) karya F. Rene Van De Carr & Marc Lehrer dinyatakan bahwa pendidikan anak sebaiknya dimulai sejak dalam kandungan yang disebut dengan prenatal education (pendidikan sebelum lahir).
Pendapat Van De Carr & Mark Lehrer di atas diperkuat oleh William Sallenbach (1998) yang menyimpulkan bahwa periode pranatal atau pralahir merupakan masa kritis bagi perkembangan fisik, emosi dan mental bayi. Ini adalah suatu masa di mana kedekatan hubungan antara bayi dan orangtua mulai terbentuk dengan konsekuensi yang akan berdampak panjang terutama berkaitan dengan kemampuan dan kecerdasan bayi dalam kandungan. (Infada: 2010)
            Jauh sebelum itu, Islam telah mengajarkan bahwa pendidikan anak sudah bisa dilakukan sebelum anak tersebut lahir. Dalam Q.S. An Nahl: 78
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  

Artinya :     “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (Digital Qur’an)

            Menurut Ibnu Qoyyim (dalam Ulya, 2012: 16) ayat ini menunjukkan bukti bahwa pada saat janin masih di dalam kandungan telah dianugerahi daya pendengaran, penglihatan dan hati, serta telah berfungsi semenjak ditiupkan ruh pada janin tersebut, dan dengan daya-daya tersebut janin telah mampu berinteraksi kepada internal dan eksternal rahim, oleh karena itu pendidikan sudah dapat diterapkan.
            Adapun strategi pendidikan karakter pada saat prenatal adalah:
(a)    Melakukan hubungan suami isteri yang sesuai dengan ajaran Islam.
            Menggauli isteri atau melakukan hubungan suami isteri adalah merupakan ibadah dan bernilai pahala di sisi Allah SWT. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: “… Pada kemaluanmu itu ada sedekah. Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah orang yang melampiaskan syahwatnya (melakukan hubungan suami isteri) itu mendapat pahala?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan mendapat pahala.” (Al-Mundziri, 2003: 311). Hubungan suami isteri menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah. (SedekahDoa: 2015). Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah di sisi Allah itu lah, maka sepantasnya setiap hubungan suami isteri harus dilakukan sesuai dengan ajaran Islam.

(b)   Selalu mendekatkan diri kepada Allah dan membaca (atau mendengarkan bacaan) Al-Qur’an
            Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran, seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar, seperti penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek penelitiannya. Penelitiannya ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit. Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh dokter yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Al-Quran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita, yang sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkannya adalah Al-Qur’an. Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Al-Qur’an dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an. Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an.  Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Dr. Nurhayati dari Malaysia yang menyatakan bahwa Al Qur’an memberikan pengaruh yang besar jika diperdengarkan kepada bayi. Berdasarkan penelitiannya bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dari tape recorder menunjukkan respon tersenyum dan menjadi lebih tenang. (Arrahmahdotcom: 2013, th).
            Bagaimana dengan janin yang masih dalam kandungan? Berdasarkan penelitian Verny T & Kelly J yang dituangkan dalam buku berjudul “Secret Life of The Unborn Child” (dalam (Percikaniman: 2008, th)  dikemukakan, bahwa pada usia tertentu janin sudah dapat membedakan mana situasi atau kondisi yang menyenangkan dirinya, dan mana yang membuatnya tidak nyaman, dan akan memberikan reaksi melalui gerakan-gerakan. Mereka juga menemukan, kondisi stres yang berlangsung lama pada ibu hamil akan mempengaruhi janin melalui pengeluaran hormon yang masuk dalam peredaran darah.  Tubuh seseorang akan memproduksi hormon yang bernama kortisol secara berlebihan dalam keadaan stres. Yang berakibat tekanan darah menjadi tinggi, dada terasa sesak, dan emosi yang tidak stabil. Pada ibu hamil, hormon kortisol akan sampai ke plasenta dan akhirnya sampai ke janin melalui pembuluh darah. Akibatnya, janin pun menjadi stres. Bila selama hamil seorang ibu banyak mengeluarkan hormon kortisol, hal ini dapat membawa pengaruh kurang baik tidak saja pada dirinya, tetapi juga pada janinnya, bahkan hingga si anak dewasa. Hormon berlebih yang dihasilkan dalam waktu lama dan terus-menerus membuat hormon tersebut terakumulasi dalam sistem tubuh janin. Akibatnya, janin terkondisi dengan keadaan hormon berkadar tinggi dalam tubuhnya. Bila suatu saat dia dihadapkan pada kondisi yang dapat menjadi pemicu meningkatnya produksi hormon kortisol dalam tubuhnya, ia akan menjadi lebih mudah berada dalam kondisi stres atau menderita penyakit yang sama seperti yang dialami ibunya dahulu ketika mengandungnya.
            Ibu yang sedang mengandung agar dapat menjaga ketenangan batinnya agar hormon kortisol tidak diproduksi secara berlebih. Dan mendekatkan diri kepada Allah, berzikir, dan berdo’a merupakan cara yang tepat untuk mendapatkan ketenangan bathin. Allah berfirman dalam Q.S. Ar-Ra’d: 28
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ  
Artinya:      “Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Quran Digital)

            Selain itu, menurut para ahli organ-organ tubuh janin selesai terbentuk pada usia 5 (lima) bulan dalam kandungan. Setelah masa itu, terjadi proses perkembangan atau pematangan dari seluruh sel-sel organ yang telah terbentuk. Dan stimulasi pada janin paling tepat lewat suara. Karena sekitar usia 24 minggu (6 bulan) kehamilan, organ telinga janin sudah terbentuk dan berfungsi secara sempurna. Bersamaan dengan itu, di usia ini otak janin pun sudah mampu menerjemahkan rangsang suara. Oleh karena itu ibu hamil yang sering memperdengarkan bacaan Al Quran, bisa merangsang sel-sel otak janin sebelum lahir. Tapi bukan berarti janin akan lebih cerdas dengan kapasitas dan volume otak yang lebih besar, karena bagaimanapun volume otak sudah ditentukan oleh gen masing-masing. Minimal, sel-sel otak sudah diberi stimulasi (rangsang) sedini mungkin hingga ia dapat bekerja lebih optimal (Percikaniman: 2008, th)

(c)    Makan makanan yang halal dan bergizi.
            Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 168
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ  

Artinya:      “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qur’an Digital)
           
            Banyak hikmah yang didapat ketika senantiasa mengkonsumsi makanan halal dan bergizi. Baik dari segi kesehatan ruhani maupun jasmani. Makanan halal akan memberikan karakter yang baik terhadap seseorang. Menunjukan ketakwaan seseorang. Makanan akan menjadi darah daging dalam tubuhnya yang senantiasa digunakan untuk beribadah kepada Allah dan bekerja. Menjadi sumber energi dalam menjalani kehidupan di muka bumi. Selalu mengkonsumsi makanan yang halal sama dengan menjaga diri dari kerusakan dunia dan akhirat. Demikian pula halnya dengan makanan bergizi (thoyyiban). Kebutuhan tubuh akan nutrisi yang dibutuhkan perlu dipenuhi. Memenuhi hak tubuh. Memberikan makanan terbaik menjadikan tubuh senantiasa kuat dan terhindar dari penyakit-penyakit berbahaya. Gizi yang baik dapat meningkatkan imunitas tubuh sehingga serangan virus, patogen, dan sel jahat lainnya tidak mampu menembus kekebalan tubuh. Bukankah mu’min yang kuat lebih baik dari mu’min yang lemah?. Maka dari itu mengkonsumsi makanan halal dan thayyib tidak sekedar menuntaskan kewajiban, tetapi juga merupakan sebuah keniscayaan. Terlebih-lebih pada ibu hamil yang sedang mengandung anaknya. Menurut Ibnu Qayyim (dalam Ulya, 2012: 20) pemberian makanan dan  pengaturan suplai makanan bagi isteri yang sedang hamil harus lebih dijaga, sebab makanan yang dikonsumsi olehnya sekaligus akan dikonsumsi oleh bayi dalam kandungannya, dan itu akan mempengaruhi tumbuh kembang janin dalam kandungan.

(d)   Menjaga kesehatan fisik dan psikis isteri yang sedang hamil.
            Ibnu Qayyim (dalam Ulya, 2012: 19) menjelaskan bahwa proses pertumbuhan psikis janin dalam kandungan sangat dipengaruhi oleh faktor internal orangtuanya, terutama ibu, baik kondisi fisik maupun psikisnya. Sebab, ibu dan janin merupakan satu unitas organik yang tunggal dan saling berkaitan erat. Keterkaitan ibu dan janin dalam kandungan oleh Ibnu Qayyim digambarkan seperti keterkaitan dahan pohon dengan batang pohonnya. Ia menjelaskan bahwa apabila orang tuanya memiliki keadaan gejala-gejala psikologi, perasaan, dan pikiran tertentu, atau kepribadian tertentu atau dalam cara mereka merencanakan kehadiran seorang anak melalui interaksi biologisnya, maka keadaan tersebut akan sangat berpengaruh pada keadaan konstruksi psikologis dan proses kelangsungan perkembangan psikologis, baik secara mental maupun emosional anak yang dikandungnya. Bahkan dapat menentukan kecenderungan ke arah mana anak itu akan berkepribadian dan berkarakter. Karena pada dasarnya karakter itu menurun.
  
(3)   Pascanatal
            Dalam pendidikan anak pascanatal  ada  beberapa  fase  penting  yang harus diperhatikan sebagai dasar untuk mengarahkan dan memberi pendidikan terhadap anak.  Fase-fase  tersebut  menurut  Ramayulis (2006: 305-322) dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
(a)    Fase bayi (0 – 2 tahun)
            Masa bayi disebut juga masa mulut (oral phrase) dimana bayi dapat mencapai  pemuasan  kebutuhan  hidupnya  dengan  menggunakan mulutnya Oleh  karena  itu  pendidikan  pada fase lebih  berpusat  pada  orang  tua yang memegang peranan utama dalam mendidik anak. Pada awal-awal fase ini, perkembangan yang paling menonjol adalah pendengaran sebagai lanjutan perkembangan semasa janin. Kemudian diikuti perkembangan-perkembangan lainnya.
            Setelah bayi baru dilahirkan Islam mengajarkan untuk meng”adzan”kan pada telinga kanan dan meng”iqamah”kan pada telinga kiri (terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama). Menurut Ibnu Qayyim dalam bukunya “Tuhfatul Wadud fii Ahkamil Maulud” hikmah mengadzankan bayi yang baru lahir adalah supaya yang didengarkan bayi tersebut pertama kali setelah lahir adalah ucapan yang mengagungkan Allah serta syahadat yang pertama kali memasukkannya ke dalam agama Islam. (Muslimdaily: 2010). Selanjutnya mulai bayi berumur 7 hari, orangtua juga dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah dan memberi nama yang baik kepada sang bayi. Semua ini tentunya untuk penanaman pendidikan karakter sedini mungkin.
(b)   Fase kanak-kanak (2 – 6 tahun)
            Fase ini disebut sebagai masa estetika,  masa  indera  dan masa menentang orangtua. Disebut masa estetika karena pada masa itu merupakan saat terciptanya perasaan keindahan.  Anak-anak  seusia  ini senang  dengan  segala sesuatu yang indah  dan  warna-warni.  Disebut masa  indera  karena  pada  masa ini indera berkembang pesat dan senang melakukan eksplorasi. Kemudian disebut masa menentang karena dipengaruhi oleh menonjolnya perkembangan berbagai aspek fisik, dan psikis di suatu pihak.  Disisi  lain,  belum  berfungsinya  kontrol akal  dan  moral.  Jadi  anak pada  masa  ini  masih  bersifat  meniru  dan  banyak bermain. Hasil dari kegiatan tersebut akan memberikan keterampilan dan pengalaman si anak.
            Karakteristik anak pada masa ini adalah mulai dapat mengontrol tindakan; selalu ingin bergerak; berusaha mengenal lingkungan; perkembangan yang cepat dalam berbicara; senantiasa ingin memiliki sesuatu; mulai dapat membedakan yang benar dan yang salah.
(c)    Fase anak   (6 – 12 tahun)
            Pada fase ini juga disebut masa akhir kanak-kanak  (Late  Childhood). Masa  ini  disebut juga  dengan  masa  berpikir  operasional  konkret dan berakhir dengan berpikir operasional formal. Yang dimaksud dengan operasional  konkret adalah  anak  sudah  memiliki  operasi-operasi  logis yang  dapat  diterapkannya pada  masalah-masalah  konkret. Bila menghadapi suatu pertentangan antara pikiran  dan persepsi, anak periode ini sudah mampu memilih pengambilan keputusan logis, bukan keputusan perseptual  seperti  anak  periode  sebelumnya. Sedangkan  berpikir operasioanl  formal  adalah  anak  sudah  dapat menggunakan  operasi-operasi  konkret  untuk  membentuk  operasi-operasi  yang lebih kompleks.  Anak  tidak  perlu  berpikir  dengan  pertolongan  benda-benda atau  peristiwa-peristiwa  konkret,  karena  dia  sudah  mempunyai kemampuan berpikir abstrak.
            Pada masa anak-anak ini perasaan ketuhanan sudah mengarah pada keadaan  yang lebih positif bahkan hubungannya dengan tuhan telah dipenuhi oleh  rasa  aman  dan  percaya.  Sehingga  sering  ditemukan  pada usia  ini bertambah  rajin  melakukan  ibadah  mereka  semakin  senang  pergi ke  masjid, mengaji,  sekolah  dan  lain  sebagainya. Oleh  karena  itu  sejak dini diupayakan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang baik bagi anak.
            Mengenai  perkembangan  sosial  pada  fase  ini  anak  sudah  mulai bergaul  dengan  orang  dewasa  dan  teman  sebayanya  karena  dia  telah memasuki lembaga pendidikan formal. Untuk itu orang tua  harus  mencari  guru yang  berakhlak  baik  dan  beriman  mengingat kemampuan  anak  untuk membedakan  berbagai  pengaruh  lingkungannya masih  sangat  terbatas.  Selain itu  juga,  pengaruh  pergaulan  ini  pun  sangat besar bagi pertumbuhan perkembangan jiwa keagamaan dan sosial anak.
(d)   Fase remaja (12 – 21 tahun)
            Anak pada  fase  ini  semakin  mampu  memahami  nilai–nilai yang berlaku dalam kehidupan. Periode ini sangat baik untuk membantu remaja guna menumbuhkan sikap bertanggungjawab dan memahami nilai-nilai terutama yang bersumber dari agama Islam. Dalam konsep  sederhana  mereka perlu diperkenalkan  tentang  konsep  agama tentang  sikap  yang  baik,  rasa tanggung jawab  di  dalam  kehidupan  untuk mencapai keselamatan di dunia dan di akhirat.
            Proses  terbentuknya  pendirian  hidup  atau  pandangan  hidup  atau cita-cita dapat  dipandang  sebagai  penemuan  nilai-nilai  hidup  di dalam eksplorasi si  remaja.  Proses tersebut ada tiga langkah yaitu: karena  tidak adanya  pedoman, si  remaja  merindukan  sesuatu  yang dianggap bernilai, pantas dihargai dan dipuja; kemudian obyek  pemujaan  menjadi  lebih  jelas yaitu pribadi-pribadi yang  dipandangnya  mendukung  sesuatu  nilai sehingga menjadi personifikasi nilai-nilai; selanjutnya taraf ketiga, si remaja telah dapat menghargai nilai-nilai lepas dari pendukungnya, nilai sebagai hal yang abstrak.
(e)    Fase dewasa ( 21 ke atas)
            Usia  dewasa  dimulai  sejak  berakhirnya  kegoncangan-kegoncangan kejiwaan pada masa remaja. Dengan demikian, usia dewasa bisa  dikatakan  masa ketenangan  jiwa,  ketetapan  hati  dan  keimanan  yang tegas.  Karena  pada umumnya,  ketika  seseorang  telah  mencapai  usia dewasa, dia sudah mempunyai banyak ilmu pengetahuan dan pengalaman. Dalam menghadapi  beberapa permasalahan,  ada  yang mampu  menyelesaikan  dengan  sukses  dan  ada  pula yang  mengalami kegagalan. Kegagalan yang dialami orang dewasa dianggap sebagai suatu kewajaran.  Memang  terkadang  juga  menimbulkan  suatu kegoncangan jiwa,  namun  pada  dasarnya  pada  usia  dewasa  ini  mempunyai kesiapan mental  dan mampu  mengendalikan  diri.

            Dengan memperhatikan fase-fase perkembangan anak semenjak bayi lahir sampai dengan dewasa, maka strategi pendidikan karakter dalam keluarga yang dapat diterapkan adalah :
(1)   Strategi penanaman nilai-nilai keagamaan dan kemasyarakatan secara berkesinabungan semenjak lahir.
            Islam mengajarkan dalam menumbuhkan dan mengembangkan karakter seorang anak dengan menanamkan nilai-nilai ketauhidan dan keagamaan serta nilai-nilai kemasyarakatan semenjak dini, sejak anak tersebut hadir ke muka bumi, walaupun anak tersebut belum memahami apa-apa. Hal ini tampak dari perintah mengadzankan, pelaksanaan aqiqah, pemberian nama yang baik, serta kewajiban mengeluarkan zakat fitrah setelah anak tersebut lahir.
            Penanaman nilai keagamaan dan kemasyarakatan sangat penting dilakukan sejak dini, karena nilai-nilai inilah yang mendasari pembentukan karakter anak sebagai makhluk beragama dan makhluk sosial.
(2)   Strategi keteladan orang dewasa di rumah tangga.
            Seorang anak dalam bertingkah laku akan banyak mencontoh tingkah laku orang-orang yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, orangtua dan orang-orang yang ada di sekitarnya harus mampu memberi keteladanan bagaimana sifat-sifat mulia seperti ; kejujuran, amanah, tablig dan fatanah terus dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari bersama anak. Berbagai sifat-sifat terpuji penumbuhannya harus dimulai semenjak dini yakni mulai dari rumah tangga atau keluarga. Untuk itulah pendidikan keluarga sangat berperan penting. Sifat amanah atau kepercayaan, penghormatan, tanggung jawab, kejujuran, keberanian, keterbukaan, penuh perhatian, integritas, rajin dan kenegarawanan akan tumbuh dan berkembang bila ditanamkan semenjak masa kanak-kanak.
(3)   Strategi pembiasaan.
            Pembiasaan berperilaku yang baik dan adab sopan santun adalah bagian terpenting dalam pendidikan. Oleh sebab itu anggota keluarga terutama yang sudah dewasa harus sudah terbiasa dengan perilaku yang positif. Penghargaan kepada anak yang jujur harus diberikan. Anak yang jujur meskipun memperoleh nilai sekolah rendah lebih berharga daripada anak yang bohong meskipun nilainya tinggi. Keberanian untuk jujur perlu pembiasaan. Demikian pula terhadap perilaku-perilaku positif lainnya.
(4)   Strategi pengajaran.
            Orangtua harus memberikan petunjuk kepada anak mengenai sesuatu yang baik yang harus dihayati dan diamalkan dalam perilaku sehari-hari, serta menunjukkan sesuatu yang tidak baik atau tidak benar yang harus dijauhi. Sehingga anak mengetahui dan dapat membedakan mana tingkah laku yang baik dan mana tingkah laku yang tidak baik  Informasi dan nasihat perlu diberikan secara terus menerus kepada anak.
            Menutup pembahasan ini, ada sebuah puisi Dorothy Law Nolte yang berjudul “Children Learn What They Live” yang dikutip dan diterjemahkan oleh Rakhmat (1998: 187) yang patut kita renungkan bersama yaitu:

 

ANAK-ANAK BELAJAR DARI KEHIDUPANNYA


Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki;
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi;
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri;
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri;

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri;
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri;
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai;
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan;
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan;
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya;
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

  


DAFTAR RUJUKAN
Al-Mundziri, Al-Hafizh Zaki Al-Din Abd Al-Azhim. 2003. Ringkasan Shahih Muslim. (Penerjemah: Achmad Zaidun). Jakarta: Pustaka Amani

Ahmadi, Abu & Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Arifin. 1991. Ilmu Pendidikan Islam : Suatu Pendekatan Teoritik dan Praktis Berdasarkan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.

Arrahmahdotcom. 20013. Penelitian Ilmiah: Pengaruh Bacaan Al Qur’an pada Syaraf, Otak, dan Organ Tubuh Lainnya. (Online). (https://moeflich.wordpress.com/2013/01/30/penelitian-ilmiah-pengaruh-bacaan-al-quran-pada-syaraf-otak-dan-organ-tubuh-lainnya-subhanallah-menakjubkan/), diakses: 15 Oktober 2015

Buchori, Mochtar. 1994. Pendidikan dalam Pembangunan. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana.

Bryson, John. M. 1999. Perencanaan Strategis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Daradjat, Zakiah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama.

Depdikbud. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Digital Qur’an. Versi 3.0.4. Sony Sugema 2003-2004

Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter : Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.

Hosna, Rofiatul dan Samsul H.S. 2015. Melejitkan Pembelajaran dengan Prinsip-prinsip Belajar. Malang: Intelegensia Media.

Intifada, 2010, Pendidikan Islam Pranatal (Dalam Kandungan). (Online). (http://islamualaf.blogspot.co.id/2010/05/pendidikan-islam-pranatal-dalam.html), diakses: 15 Oktober 2015.

Iwan, Asep. 2012. Pendidikan Islam dan Peranan Keluarga Bagi Pendidikan Anak. (Online). (http://www.aswanblog.com/2012/12/pendidikan-keluarga-bagi-anak.html), diakses: 14 Oktober 2015.

Kasali, Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations : Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.  Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Kemdikbud. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Online). (http://kbbi.web.id/karakter), diakses 13 Oktober 2015.

Khan, Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri : Mendongkrak Kualitas Pendidikan. Yogyakarta: Pelangi Publishing.

Langgulung, Hasan. 1988. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.

Langgulung, Hasan. 2004. Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologis, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta Pustaka Al-Husna Baru.

Majid, Abdul & Dian Andayani. 2010. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Insan Cita Utama.

Muslimdaily. 2010. Hukum Mengadzani Bayi yang Baru Lahir. (Online). (http://www.muslimdaily.net/konsultasi/syariah/hukum-mengadzani-bayi-yang-baru-lahir.html), diakses: 16 Oktober 2015.

Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Purwanto, M. Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Percikaniman. 2008. Al-Quran Bisa Mencerdaskan Janin. (Online). (http://www.percikaniman.org/category/tanya-jawab-islam/al-quran-bisa-mencerdaskan-janin), diakses: 16 Oktober 2015.

Rakhmat, Jalaluddin. 1998. Islam Aktual. Bandung: Mizan

Rahajoekoesoemah, Datje. 1993. Kamus Belanda-Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Ramayulis. 2006. Ilmu Pendidikaqn Islam, Jakarta: Kalam Mulia

Rusyan, Tabrani, et al. 1989. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remadja Karya.

Sadulloh, Uyuh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media

Sedekah Doa. 2015. Hubungan Seks Suami Isteri Adalah Sedekah. (Online). (https://sedekahdoa.wordpress.com/hubungan-seks-suami-istri-adalah-sedekah/), diakses: 15 Oktober 2015

Sudjana, Nana. 2005. Strategi Pembelajaran. Bandung: Falah Production.

Sutikno, Sobry. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Prospect

Ulya, Nur Maziyah. 2012. Pemikiran Ibnu Qayyim Al Jauziyyah tentang Pendidikan Prenatal. Semarang: IAIN Walisongo

Zuihairini. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar