STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA
Oleh : ARIFUDDIN
LATAR BELAKANG
Presiden pertama Indonedia,
Soekarno, pernah berkata, “There is no nation-building without
character-buildin.”. (Tidak akan mungkin membangun sebuah negara kalau
pendidikan karakternya tidak dibangun). Ini menandakan betapa pentingnya
pendidikan karakter atau pendidikan moral dalam membangun jati diri sebuah
bangsa. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya dan adat istiadat.
Bagi Indonesia pendidikan karakter
berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk
membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia
bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan
karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih
baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri,
tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa
tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa
semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan
optimisme.
Pendidikan adalah merupakan kegiatan
universal dalam kehidupan manusia, baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah,
maupun masyarakat. Pengaruh serta timbal balik pendidikan di sekolah, keluarga,
dan masyarakat sangatlah penting karena sangat menentukan dalam pencapaian
tujuan pendidikan yang diharapkan. Demikian pula halnya dengan pendidikan
karakter. Tanggung jawab pendidikan karakter tidak hanya berada pada pundak
guru sebagai tenaga pendidik di sekolah. Keberhasilan pendidikan karakter
sangat ditentukan bagaimana setiap masing-masing lingkungan pendidikan, yaitu
keluarga, sekolah dan masyarakat, bekerja sama dan berperan secara sinergi
dalam rangka pendidikan karakter tersebut.
Agar tujuan pendidikan karakter yang
dilaksanakan oleh masing-masing lingkungan pendidikan dapat berjalan secara
optimal perlu adanya penataan potensi dan sumber daya serta rencana tindakan
yang dijalankan demi efektifitas dan efesiensi dalam mencapai tujuan, yang
dikenal dengan istilah strategi pelaksanaan.
STRATEGI
PENDIDIKAN KARAKTER
Strategi
Pendidikan
Menurut
Bryson (1999: xvi) kata strategi berasal dari kata Yunani
yaitu strategos yang artinya “a general set of maneuvers cried out over come
a enemy during combat” yaitu semacam ilmunya para jenderal untuk
memenangkan pertempuran. Menurut Rahajoekoesoemah (1993: 1388) dalam kamus
Belanda-Indonesia, strategi berasal dari kata majemuk, yang artinya siasat
perang, istilah strategi tersebut digunakan dalam kemiliteran sebagai usaha
untuk mencapai kemenangan, sehingga dalam hal ini diperlukan taktik serta
siasat yang baik dan benar. Dalam kamus bahasa Indonesia sendiri (Depdikbud,
1989: 859) strategi diartikan sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan
untuk mencapai sasaran tertentu. Adapun menurut Arifin (1991: 58) strategi
adalah segala upaya untuk menghadapi sasaran tertentu dalam kondisi tertentu
untuk mencapai hasil secara maksimal. Kata strategi menurut
Kasali (1994: 173) mempunyai pengertian yang terkait dengan hal-hal kemenangan,
kehidupan, atau daya juang. Artinya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan
mampu tidaknya individu atau lembaga menghadapi tekanan yang muncul dari dalam
maupun dari luar.
Dari
pengertian di atas, secara garis besar strategi adalah segala upaya yang
digunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, dalam
semua bidang baik bidang pendidikan atau bidang lainnya. Dan strategi yang
dibuat digunakan untuk meningkatkan usaha dan hasil agar terjadi perkembangan
yang lebih baik.
Strategi
dasar dari setiap usaha menurut Newman dan Logan (dalam Rusyan, 1989: 213)
mencakup 4 hal yaitu :
(1) Pengidentifikasian
dan penetapan spesifikasi serta kualifikasi hasil yang harus dicapai dan
menjadikan sasaran usaha dengan memperhatikan aspirasi dan selera masyarakat;
(2) Pertimbangan
dan pemilihan jalan pendekatan yang ampuh dalam mencapai sasaran;
(3) Pertimbangan
dan penetapan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mencapai sasaran;
(4) Pertimbangan
dan penetapan tolak ukur yang baku untuk mengukur tingkat keberhasilan.
Adapun
dalam dunia pendidikan, menurut David (dalam Sanjaya, 2008: 2) strategi
diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to
achieves a particular educational goal. Strategi pendidikan diartikan
sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sedangkan Arifin (1991: 60) berpendapat
bahwa strategi pendidikan adalah seni mendayagunakan suatu faktor untuk
mencapai sasaran pendidikan dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat yang
ada termasuk juga masalah hambatan-hambatan fisik maupun nonfisik
Apabila
unsur strategi dasar seperti yang diungkapkan di atas diterapkan dalam
pendidikan, maka strategi pendidikan mencakup :
(1) Pengidentifikasian
secara spesifik terhadap perubahan tingkah laku dan pribadi peserta didik
seperti apa dan bagaimana perubahan tersebut dicapai.
(2) Pemilihan
dan penetapan pendekatan, yang digunakan yang dipandang efektif dalam mencapai
tujuan yang diinginkan serta menjadi pegangan para pendidik dalam melaksanakan
kegiatan pendidikan.
(3) Pemilihan
dan penetapan prosedur, metode, serta teknik belajar mengajar yang efektif dan
efesien.
(4) Penetapkan
norma-norma dan batas minimum keberhasilan atau kriteria keberhasilan kegiatan
pendidikan yang dilaksanakan.
Strategi
pendidikan juga digunakan untuk menyelesaikan atau meminimalkan
permasalahan-permasalahan serta hambatan-hambatan yang terjadi dalam dunia
pendidikan. Selain itu strategi pendidikan juga dipandang dapat memberikan
bantuan agar pendidikan dapat berkembang lebih maju dan lebih baik. Menurut
Buchori (1994: 12) ada dua strategi yang dapat diterapkan dalam menghadapi
permasalahan dalam pendidikan, yaitu :
(1) Strategi
pengembangan sistem, yang berisi langkah-langkah dasar yang dapat ditempuh
untuk mendorong berbagai lembaga pendidikan untuk saling bersentuhan, saling
mengenal, saling membantu, dan saling mendekati.
(2) Strategi
pengarahan sistem, yang berisi langkah-langkah yang dapat ditempuh dengan
meletakkan hubungan langsung antara program pendidikan yang akan
diselenggarakan dengan sejumlah persoalan-persoalan nyata yang terjadi dalam
masyarakat.
Jika
dikaitkan dalam proses pembelajaran, dikenal beberapa istilah yang memiliki
kemiripan makna, sehingga sering kali kita merasa bingung untuk membedakannya.
Istilah-istilah tersebut antara lain yaitu: strategi pembelajaran dan metode
pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan istilah-istilah tersebut dengan
harapan dapat memberikan kejelasan tentang penggunaan istilah tersebut.
(Sanjaya, 2008: 126) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu
kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan
mengutip pemikiran David, Sanjaya (2008: 126) menyebutkan bahwa dalam strategi
pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, strategi pada dasarnya
masih bersikap konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam
suatu pelaksanaan pembelajaran.. Sedangkan yang dimaksud dengan metode
pembelajaran adalah cara yang digunakan pendidik dalam mengadakan hubungan
dengan peserta didik pada saat proses pembelajaran (Sudjana, 2005: 76), atau
cara menyajikan materi pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi
proses pembelajaran pada diri peserta didik dalam upaya untuk mencapai tujuan
pembelajaran (Sutikno, 2009: 88). Sehingga dapat disimpulkan bahwa strategi
pembelajaran adalah perencanaan tindakan yang sifatnya masih konseptual dan
untuk mengimplementasikan rencana tersebut digunakanlah berbagai metode
pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, menurut Hosna dan Samsul (2015: 147)
strategi pembelajaran merupakan “a plan of operation achieving something”,
sedangkan metode adalah “a way in achieving something”.
Pendidikan Karakter
Penguatan pendidikan karakter dalam konteks kekinian sangat
relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis
tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka
kekerasan terhadap anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja,
kebiasaan menyontek, penyalahgunaan
narkoba, pornografi, dan perusakan
milik orang lain, sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat
diatasi secara tuntas. Dan pendidikan karakter merupakan pintu masuk yang
relevan dalam mengatasi problem-problem sosial tersebut.
Berbicara tentang pendidikan karakter, ada dua kata kunci
yang perlu dimaknai yaitu “pendidikan” dan “karakter”. Pendidikan merupakan
proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung
sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada
perubahan zaman. Untuk itu pendidikan di
masyarakat, didesain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat.
Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam
mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan.
Islam
sebagai sebuah sistem kehidupan telah menawarkan solusi pemecahan masalah yang paling
mendasar bagi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia, baik itu
berkaitan dengan masalah material, spiritual, sosial, politik, atau pun
peradaban yaitu dengan pendidikan. Karena pendidikan menurut Langgulung (1988:
308) bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dan kepribadian total
manusia dalam segala aspeknya; spiritual, intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah
dan linguistik, untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan, dalam rangka
merealisasikan penyerahan mutlak dan penghambaan diri kepada Allah SWT pada
tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya.
Dalam dunia pendidikan, terdapat dua
istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie dan paedagogiek.
Menurut Purwanto (2007: 3) paedagogie artinya pendidikan,
sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan. Pedagogik atau
ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang
gejala-gejala perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani paedagogia
yang berarti pergaulan dengan anak-anak.
Marimba (dalam Tafsir, 2008: 6)
mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama. Sedangkan menurut Poerbakawatja (dalam Zuhairini, 1995:
120) pendidikan merupakan semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuannya, pengalamanya, kecakapannya serta keterampilannya kepada
generasi muda, sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya,
baik jasmaniah maupun rohaniah.
Sementara
itu, berdasarkan landasan hukum pelaksanaan pendidikan di Indonesia yaitu
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya,
masyarakat, banga dan negara.
Dengan
demikian jelaslah bahwa pendidikan adalah suatu yang sangat penting dan mutlak
bagi manusia, karena pada dasarnya pendidikan bertujuan untuk memanusiakan
manusia.
Adapun kata karakter berasal dari bahasa Latin “kharakter”,
“kharassein”, “kharax”, dalam bahasa Inggris “character”, dalam
bahasa Yunani “character” dari asal kata “charassein”, yang
membuat dalam atau membuat tajam (Majid & Dian, 2010: 11). Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Kemdikbud, 2008) mempunyai dua arti yaitu: (1) tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan yang lain; watak; dan (2) huruf, angka, ruang,
simbol khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik. Dalam
pembahasan ini yang dimaksud dengan karakter adalah arti kata yang pertama.
Menurut Majid dan Dian (2010: 11) karakter adalah sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau
sekelompok orang. Khan (2010: 1) memandang bahwa karakter adalah sikap, tabiat,
akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara
progresif dan dinamis. Imam Ghazali (dalam Majid & Dian, 2010: 11)
menganggap karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam
bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika
muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dari beberapa definisi karakter
tersebut dapat disimpulkan secara ringkas bahwa karakter adalah sikap, tabiat,
akhlak, kepribadian yang stabil sebagai hasil proses konsolidasi secara
progresif dan dinamis; sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara
bermoral; watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan, yang diyakini dan digunakan sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak.
Mengacu pada
berbagai pengertian dan definisi tentang pendidikan dan karakter yang telah
disampaikan terdahulu, secara sederhana dapat diartikan bahwa pendidikan
karakter adalah upaya sadar yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
(pendidik) untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada seseorang yang
lain (peserta didik) sebagai pencerahan agar peserta didik mengetahui, berfikir
dan bertindak secara bermoral dalam menghadapi setiap situasi.
Lickona
(1992: 12-22) berpendapat bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang
sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak dengan
landasan nilai-nilai etis. Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga
unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai
kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).
Thomas
Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang
dalam merespons situasi secara bermoral yang dimanifestasikan dalam tindakan
nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati
orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang
diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit”
atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan
tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah:
knowing, loving, and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan
karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan
pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu.
Khan (2010:
34) memandang pendidikan karakter adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan
segala daya dan upaya secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik.
Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan yang mengarah pada
peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budi pekerti yang selalu
mengajarkan, membimbing, dan membina setiap manusia untuk memiliki kompetensi
intelektual, karakter, dan keterampilan menarik. Nilai-nilai pendidikan
karakter yang dapat dihayati adalah
religius, nasionalis, cerdas, tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, dan arif,
hormat dan santun, dermawan, suka menolong, gotong-royong, percaya diri, kerja
keras, tangguh, kreatif, kepemimpinan, demokratis, rendah hati,
toleransi, solidaritas, dan peduli.
Sedangkan
menurut Ramli seperti yang dikutip Gunawan (2012: 23-24) pendidikan karakter
memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria
manusia yang baik, warga masyarakat yang baik , dan warga negara yang baik bagi
suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu
yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu,
hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan Indonesia adalah
pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia itu sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan
karakter juga dapat dimaknai sebagai upaya yang terencana untuk menjadikan anak
didik mengenal, peduli, dan menginternalisasikan nilai-nilai kebajikan sehingga
ia menjadi insan kamil. Pendidikan karakter juga dapat diartikan sebagai suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada manusia yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai
tersebut baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan maupun
kebangsaan sehingga menjadi manusia yang sempurna.
Berdasarkan
kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan dan hukum, etika
akademik, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia menurut Gunawan (2012: 32)
nilai-nilai karakter dapat dikelompokkan dalam lima yaitu:
(1) Nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa;
(2) Nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan diri sendiri;
(3) Nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan sesama manusia;
(4) Nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan lingkungan sekitar;
(5) Nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan kebangsaan.
PENDIDIKAN DALAM KELUARGA
Ki
Hajar Dewantara (dalam Ahmadi dan Uhbiyati 1991: 50) mengemukakan sistem tri
centra pendidikan dengan menyatakan : “Di dalam hidupnya anak- anak ada
tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya
yaitu alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan pemuda”. Pendapat ini
mendasari lahirnya istilah Tri Pusat Pendidikan yaitu pendidikan keluarga,
pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan keluarga dikenal dengan pendidikan
informal, pendidikan sekolah sebagai pendidikan formal, dan pendidikan pada
masyarakat dikenal sebagai pendidikan nonformal. Dan ketiga pusat pendidikan
ini mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk kepribadian serta tingkah
laku anak didik.
Pengertian
keluarga secara etimologi terdiri dari perkataan”kawula” dan “warga”. Yang
berarti kawula adalah abadi dan warga adalah anggota. Menurut Ki Hajar
Dewantara (dalam Iwan, 2012: th) berarti kumpulan individu yang memiliki rasa
pengabdian tanpa pamrih demi kepentingan seluruh individu yang bernaung di
dalamnya.
Berikut
pandang beberapa ahli tentang keluarga. Murdock (dalam Iwan, 2012: th) keluarga
adalah suatu kelompok sosial yang ditandai oleh tempat tinggal bersama,
kerjasama ekonomi, dan reproduksi. Rertrand (dalam Iwan, 2012: th) keluarga
adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh pertalian kekeluargaan,
perkawinan, atau adopsi yang disetujui secara sosial, yang umumnya sesuai
dengan peranan-peranan sosial yang telah dirumuskan dengan baik. Roucek dan
Warren (dalam Iwan, 2012: th) keluarga adalah kelompok inti yang paling penting
dan dengannya seseorang itu berhubungan. Nye dan Bernado (dalam Iwan, 2012: th)
keluarga adalah dua orang atau lebih yang dipersatukan melalui perkawinan atau
ikatan darah yang biasanya secara bersama menempati tempat tinggal yang sama.
Dari
beberapa pengertian yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur
pokok yang terkandung dalam pengertian keluarga adalah: (1) hubungan keluarga
dimulai dengan perkawinan atau dengan penetapan pertalian kekeluargaan; (2)
hubungan keluarga berada dalam batas-batas persetujuan masyarakat; (3) anggota
keluarga dipersatukan oleh pertalian perkawinan, darah, dan adopsi sesuai
dengan adat istiadat yang berlaku; (4) anggota keluarga secara khas hidup
secara bersama pada suatu tempat tinggal yang sama; (5) interaksi dan kerja dalam
keluarga berpola pada norma-norma, peranan-peranan dan posisi-posisi status
yang ditetapkan oleh masyarakat; dan (6) dalam keluarga terjadi reproduksi.
Keluarga dapat
berbentuk keluarga inti
atau nucleus family yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, ataupun
keluarga yang diperluas (disamping keluarga inti, ada orang lain seperti
kakek/nenek, adik/ipar, pembantu, dan lain-lain). Pada umumnya jenis kedualah
yang banyak ditemui dalam kekuarga Indonesia. Meskipun ibu merupakan anggota
keluarga yang mula-mulanya paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,
namun pada akhirnya seluruh anggota keluarga itu ikut berinteraksi dengan anak.
Disamping faktor iklim sosial itu, faktor-faktor lain dalam keluarga itu ikut
pula mempengaruhi tumbuh kembangnya anak, seperti kebudayaan, tingkat
kemakmuran, keadaan perumahaannya, dan sebagainya.
Al Qur’an
mempresentasikan kata keluarga melalui kata “ahl”. Informasi yang diberikan oleh Muhammad Fuad Abd al-Baqy (dalam Nata,
1997: 115) tentang kata keluarga di dalam al-Qur’an diulang sebanyak 128 kali
dan sesuai dengan konteksnya, kata-kata dimaksud tidak selamanya menunjukan
pada arti keluarga sebagaimana dimaksudkan di atas, melainkan punya arti yang
bermacam-macam. Pada surat al-Baqarah ayat 126, misalnya kata keluarga
diartikan sebagai penduduk suatu negeri. Selain itu surat an-Nisa ayat 58
mengartikan keluarga sebagai orang yang berhak menerima sesuatu. Selebihnya
kata “ahl” Pada beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan pengertian keluarga
adalah: Q.S. Hud: 46, (Hai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu);
Q.S. an-Nisa: 4 ( … maka kirimkanlah orang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan).
Pendidikan
dalam keluarga adalah pendidikan pertama dan utama. Daradjat
(1995: 41) berpandangan bahwa keluarga dalam hal ini kedua orang tua, memiliki tanggungjawab utama dan pertama
dalam bidang pendidikan. Berbagai aspek yang terkait dengan keluarga selalu
mempertimbangkan dengan peran keduanya sebagai pendidik tersebut. Ia
berpendapat bahwa pembentukan identitas anak menurut Islam sudah dimulai sejak
anak dalam kandungan, bahkan sebelum membina rumah tangga pun harus sudah
mempertimbangkan kemungkinan dan syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat membentuk
pribadi dan karakter anak. Dan Langgulung (2004: 292) berpendapat bahwa
lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama bagi setiap individu
berinteraksi, dan lewat interaksi yang terjadi tersebut individu memperoleh
unsur-unsur dan ciri-ciri dasar kepribadiannya yang termanifestassi lewat
akhlak, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan emosinya.
Keluarga berfungsi untuk membekali
setiap anggota keluarganya agar dapat hidup sesuai dengan tuntutan nilai-nilai
religius, pribadi, dan lingkungan. Soelaeman dalam Sadulloh (2007: 175-178)
mengemukakan beberapa fungsi keluarga sebagai berikut:
(1) Fungsi
Religius
Fungsi ini diarahkan untuk mendorong
keluarga sebagai wahana pembangunan insan-insan yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bermoral,berakhlak dan berbudi pekerti luhur sesuai
dengan ajaran agamanya. Di sini orang tua berperan sebagai penyampai,
penyeleksi dan penafsir norma-norma dalam kehidupan sehari –hari.
(2) Fungsi Edukasi.
Fungsi ini mengarahkan keluarga
sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak – anaknya agar dapat
menjadi manusia yang sehat, tangguh, mau dan mandiri,sesuai dengan tuntutan
kebutuhan pembangunan yang semakin tinggi. Dalam arti mereka menjadi manusia
yang matang dan dapat bertanggung jawab juga dapat dipertanggungjawabkan oleh
masyarakatnya
(3)
Fungsi sosialisasi anak
Dalam fungsi ini menunjukkan bahwa
keluarga memiliki tugas untuk mengentarkan dan membimbing anak agar anak dapat
beradaptasi dengan kehidupan sosial (masyarakat) yang lebih luas, sehingga
kehadirannya akan diterima bahkan mungkin bahkan dinantikan oleh masyarakat
luas, karena banyak memiliki manfaat bagi orang lain yang ada di lingkungan
masyarakatnya. Keluarga memiliki kedudukan sebagai penghubung anak dengan
kehidupan sosial, meliputi penerangan, penyaringan nilai-nilai dan
penafsirannya ke dalam bahasa yang dimengerti anak. Keluarga merupakan lembaga
sosial di mana si anak mengadakan proses sosialisasi (belajar sosial atau
mempelajari nilai-nilai sosial) yang pertama dalam kehidupannya.
(4) Fungsi proteksi
Fungsi ini mengarahkan dan mendorong
keluarga agar berfungsi sebagai wahana atau tempat memperoleh rasa aman,
nyaman, damai, dan tentram bagi seluruh anggota keluarga sehingga terpenuhi
kebahagiaan batin, juga secara fisik keluarga harus melindungi anggota
keluarganya supaya tidak kelaparan, kehausan, kedinginan, kepanasan, kesakitan,
dll. Perlindungan mental dimaksudkan supaya itu orang itu tidak kecewa
(frustasi) karena memiliki konflik yang mendalam dan berkelanjutan, yang
disebabkan kurang pandai mengatasi masalah hidupnya. Perlindungan moral perlu
dilakukan supaya anggota keluarga itu menghindarkan diri dari perbuatan jahat
dan buruk.
(5) Fungsi afeksi (perasaan)
Fungsi ini diarahkan untuk mendorong
keluarga sebagai wahana untuk menumbuhkan dan membina rasa cinta dan kasih
sayang antara sesama anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.
Selain itu keluarga harus dapat menjalankan tugasnya menjadi lembaga interaksi
dalam ikatan batin yang kuat antar anggotanya, sesuai dengan status peranan
sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga itu. Ikatan batin yang dalam dan
kuat ini harus dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga sebagai bentuk
kasih sayang. Kasih sayang dan kehangatan yang diberikakan orangtua kalau
terlalu berlebihan dapat memanjakan anak, sedangkan kalau terlalu kurang akan
gersang atau kekeringan.
(6) Fungsi ekonomi
Fungsi ini diarahkan untuk mendorong
keluarga sebagai wahana pemenuhan kebutuhan ekonomi, fisik dan material yang
sekaligus mendidik keluarga hidup efisien ,ekonomis, dan rasional. Fungsi
ekonomi meliputi pencariaan nafkah, perencanaan, serta penggunaan atau
pembelajarannya. Pelaksanan fungsi ekonomi oleh seluruh anggota keluarga
mempunyai kemungkinan menambah saling pengertian, solidaritas dan tanggung
jawab bersama dalam keluarga.
(7) Fungsi rekreasi
Dalam menjalankan fungsi ini, keluarga
harus menjadi lingkungan yang nyaman, menyenangkan, cerah, ceria, hangat dan
penuh semangat. Melaksanakan fungsi rekreasi oleh seluruh anggota keluarga
sangat penting karena dapat menyeimbangan kepribadiaan anggota keluarga, dan dapat
menghindari atau setidaknya akan dapat mengurangi ketegangan yang mudah timbul
dalam keadaan lelah. Rasa aman dan
santai yang ditimbulkan rekreasi mempermudah munculnya kesenangan lahir batin, muncul
saling mengerti, memperkokoh kerukunan dan solidaritas serta saling
memperhatikan kepentingan masing-masing. Rasa nyaman dan
betah dalam keluarga menimbulkan rasa sayang dan rasa memiliki kepada keluarga,
serta keinginan untuk memeliharanya secara bersama-sama secara bekerjasama dan
tanggung jawab. Kebersamaan yang
terjalin lewat rekreasi juga akan menghadirkan rasa saling menghormati serta
memperhatikan kepentingan masing-masing anggota keluarga.
(8)
Fungsi biologis
Fungsi ini diarahkan untuk mendorong
keluarga sebagai wahana untuk menyalurkan kebutuhan reproduksi sehat bagi semua
anggota keluarganya. Keluarga menjadi tempat untuk dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar seperti kebutuhan akan keterlindungan fisik seperti
kesehatan, sandang, pangan dan papan dengan syarat-syarat tertentu sehingga
keluarga memungkinkan seluruh anggotanya dapat hidup di dalammya, sekurang-kurangnya
dapat mempertahankan hidup.
STRATEGI
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA
Pendidikan merupakan sarana penting dalam proses pembentukan
manusia seutuhnya. Melalui pendidikan, potensi-potensi manusia dapat
dikembangkan dan diaktualisasikan sehingga manusia mampu menjadikan diri dan
lingkungannya menjadi lebih sejahtera dan lebih baik, atau dengan kata lain
menjadi manusia yang mulia. Tujuan pendidikan untuk memuliakan manusia dapat
tercapai apabila proses pendidikan yang berlangsung dapat memfasilitasi
pengembangan potensi manusia sebagai makhluk biososiopsikoreligius. Dengan
demikian, lembaga pendidikan bertugas untuk mengembangkan kecerdasan
intelektual, sosial, emosional, praktikal,serta moral dan spiritual.
Dalam
perjalanan proses pendidikan yang berlangsung di Indonesia, tampak adanya
kesenjangan dalam memfasilitasi pengembangan potensi-potensi tersebut, sehingga
menimbulkan disharmoni yang justru mengancam kesejahteraan dan kemuliaan
manusia. Semakin tingginya angka kemiskinan, kriminalitas, kekerasan, dan
kerusakan alam merupakan indikasi belum tercapainya tujuan pendidikan kita. Masalah-masalah tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lain sehingga upaya mengatasinya tidak dapat
dilakukan secara parsial tetapi diperlukan reformasi pendidikan. Reformasi
tersebut salah satunya adalah dengan memberikan pendidikan karakter.
Karakter
adalah sifat-sifat mental, moral atau akhlak yang kuat dan khas, yang
membuat pemilik sifat-sifat tersebut berbeda dengan yang lain. Membangun
karakter adalah proses mengukir jiwa, sehingga terbentuk jiwa yang unik,
menarik dan lain daripada yang lain. Karakter tidak dapat dikembangkan secara
instan, melainkan melalui proses panjang yang terus menerus. Oleh karena itu
sinergitas tripusat pendidikan; keluarga, sekolah, dan masyarakat, dalam
mengelola pendidikan harus terus dikembangkan. Terlebih lagi pendidikan dalam
keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama bagi anak didik.
Daradjat
(1995: 41) berpendapat bahwa pendidikan anak menurut Islam
sudah dimulai sejak anak dalam kandungan, bahkan sebelum membina rumah tangga
pun harus sudah mempertimbangkan kemungkinan dan syarat-syarat yang diperlukan
untuk dapat membentuk pribadi dan karakter anak. Oleh karena itu penerapan strategi
pendidikan karakter dalam keluarga juga harus sudah dimulai sebelum keluarga atau rumah tangga tersebut
terbentuk.
Berpandangan
terhadap hal tersebut, maka strategi pendidikan karakter dalam keluarga dapat
dibagi dalam beberapa kategori yaitu:
(1)
Pranikah
Islam
memerintahkan bagi siapa saja yang telah mampu dalam hal kemapanan dan nafkah
untuk segera menikah. Dorongan utama perintah menikah tersebut adalah agar
terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Dan strategi dalam mencari pasang untuk
menikah, Islam telah mengajarkan agar mencari pasangan baik suami atau isteri yang
baik kualitas agamanya. Dalam Q.S. Al Baqarah ayat 221 Allah berfirman :
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
Artinya : “Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (Digital Qur’an)
Strategi mencari
pasangan hidup yang baik kualitas agamanya ini dilaksanakan dengan harapan dari
pernikahan tersebut akan lahir dan tumbuh anak yang berkualitas dan
berkarakter.
(2)
Pranatal
Dalam buku Prenatal Classroom (1992) karya F. Rene Van
De Carr & Marc Lehrer dinyatakan bahwa pendidikan anak sebaiknya dimulai
sejak dalam kandungan yang disebut dengan prenatal education (pendidikan
sebelum lahir).
Pendapat Van De Carr & Mark Lehrer di atas diperkuat oleh William Sallenbach (1998) yang menyimpulkan bahwa periode pranatal atau pralahir merupakan masa kritis bagi perkembangan fisik, emosi dan mental bayi. Ini adalah suatu masa di mana kedekatan hubungan antara bayi dan orangtua mulai terbentuk dengan konsekuensi yang akan berdampak panjang terutama berkaitan dengan kemampuan dan kecerdasan bayi dalam kandungan. (Infada: 2010)
Pendapat Van De Carr & Mark Lehrer di atas diperkuat oleh William Sallenbach (1998) yang menyimpulkan bahwa periode pranatal atau pralahir merupakan masa kritis bagi perkembangan fisik, emosi dan mental bayi. Ini adalah suatu masa di mana kedekatan hubungan antara bayi dan orangtua mulai terbentuk dengan konsekuensi yang akan berdampak panjang terutama berkaitan dengan kemampuan dan kecerdasan bayi dalam kandungan. (Infada: 2010)
Jauh
sebelum itu, Islam telah mengajarkan bahwa pendidikan anak sudah bisa dilakukan
sebelum anak tersebut lahir. Dalam Q.S. An Nahl: 78
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
Artinya : “Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur. (Digital Qur’an)
Menurut
Ibnu Qoyyim (dalam Ulya, 2012: 16) ayat ini menunjukkan bukti bahwa pada saat
janin masih di dalam kandungan telah dianugerahi daya pendengaran, penglihatan
dan hati, serta telah berfungsi semenjak ditiupkan ruh pada janin tersebut, dan
dengan daya-daya tersebut janin telah mampu berinteraksi kepada internal dan
eksternal rahim, oleh karena itu pendidikan sudah dapat diterapkan.
Adapun
strategi pendidikan karakter pada saat prenatal adalah:
(a)
Melakukan
hubungan suami isteri yang sesuai dengan ajaran Islam.
Menggauli
isteri atau melakukan hubungan suami isteri adalah merupakan ibadah dan
bernilai pahala di sisi Allah SWT. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda: “…
Pada kemaluanmu itu ada sedekah. Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah,
apakah orang yang melampiaskan syahwatnya (melakukan hubungan suami isteri) itu
mendapat pahala?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu
di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan
di jalan yang halal, kalian akan mendapat pahala.” (Al-Mundziri, 2003: 311).
Hubungan suami isteri menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Ath-Thibbun Nabawi
(Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan:
memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang
bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang
dianugerahkan Allah. (SedekahDoa: 2015). Karena bertujuan mulia dan bernilai
ibadah di sisi Allah itu lah, maka sepantasnya setiap hubungan suami isteri
harus dilakukan sesuai dengan ajaran Islam.
(b)
Selalu
mendekatkan diri kepada Allah dan membaca (atau mendengarkan bacaan) Al-Qur’an
Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya yang
panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil
membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran, seorang Muslim,
baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan
fisiologis yang sangat besar, seperti penurunan depresi, kesedihan, memperoleh
ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam penyakit merupakan pengaruh umum yang
dirasakan orang-orang yang menjadi objek penelitiannya. Penelitiannya ditunjang
dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah,
detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik.
Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar
hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit. Penelitian
Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh
dokter yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam
Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Al-Quran
terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang
mendengarkannya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Muhammad Salim yang
dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang
sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita, yang sama sekali tidak
mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan
diperdengarkannya adalah Al-Qur’an. Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali
ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Al-Qur’an dengan tartil dan membacakan
bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an. Kesimpulannya, responden mendapatkan
ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan mendapatkan
ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur’an. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh
Dr. Nurhayati dari Malaysia yang menyatakan bahwa Al Qur’an memberikan pengaruh
yang besar jika diperdengarkan kepada bayi. Berdasarkan penelitiannya bayi yang
berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dari tape
recorder menunjukkan respon tersenyum dan menjadi lebih tenang.
(Arrahmahdotcom: 2013, th).
Bagaimana
dengan janin yang masih dalam kandungan? Berdasarkan penelitian Verny T & Kelly J yang dituangkan dalam buku berjudul “Secret Life of The Unborn Child” (dalam (Percikaniman: 2008, th) dikemukakan, bahwa pada usia tertentu janin
sudah dapat membedakan mana situasi atau kondisi yang menyenangkan dirinya, dan
mana yang membuatnya tidak nyaman, dan akan memberikan reaksi melalui gerakan-gerakan. Mereka juga
menemukan, kondisi stres yang berlangsung lama pada ibu hamil akan mempengaruhi
janin melalui pengeluaran hormon yang masuk dalam peredaran darah. Tubuh seseorang akan memproduksi hormon yang bernama kortisol
secara berlebihan dalam keadaan stres. Yang berakibat tekanan darah menjadi
tinggi, dada terasa sesak, dan emosi yang tidak stabil. Pada ibu hamil, hormon
kortisol akan sampai ke plasenta dan akhirnya sampai ke janin melalui pembuluh
darah. Akibatnya, janin pun menjadi stres. Bila selama hamil seorang ibu banyak
mengeluarkan hormon kortisol, hal ini dapat membawa pengaruh kurang baik tidak
saja pada dirinya, tetapi juga pada janinnya, bahkan hingga si anak dewasa. Hormon berlebih yang dihasilkan dalam waktu lama dan
terus-menerus membuat hormon tersebut terakumulasi dalam sistem tubuh janin.
Akibatnya, janin terkondisi dengan keadaan hormon berkadar tinggi dalam
tubuhnya. Bila suatu saat dia dihadapkan pada kondisi yang dapat menjadi pemicu
meningkatnya produksi hormon kortisol dalam tubuhnya, ia akan menjadi lebih
mudah berada dalam kondisi stres atau menderita penyakit yang sama seperti yang
dialami ibunya dahulu ketika mengandungnya.
Ibu
yang sedang mengandung agar dapat menjaga ketenangan batinnya agar hormon
kortisol tidak diproduksi secara berlebih. Dan mendekatkan diri kepada Allah,
berzikir, dan berdo’a merupakan cara yang tepat untuk mendapatkan ketenangan
bathin. Allah berfirman dalam Q.S. Ar-Ra’d: 28
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% Ìø.ÉÎ/ «!$# 3 wr& Ìò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ
Artinya: “Orang-orang
yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Quran Digital)
Selain itu, menurut para ahli organ-organ tubuh janin selesai
terbentuk pada usia 5 (lima) bulan dalam kandungan. Setelah masa itu, terjadi
proses perkembangan atau pematangan dari seluruh sel-sel organ yang telah
terbentuk. Dan stimulasi pada janin paling tepat lewat suara. Karena sekitar
usia 24 minggu (6 bulan) kehamilan, organ telinga janin sudah terbentuk dan
berfungsi secara sempurna. Bersamaan
dengan itu, di usia ini otak janin pun sudah mampu menerjemahkan rangsang suara.
Oleh karena itu ibu hamil yang sering memperdengarkan bacaan Al Quran, bisa
merangsang sel-sel otak janin sebelum lahir. Tapi bukan berarti janin akan
lebih cerdas dengan kapasitas dan volume otak yang lebih besar, karena
bagaimanapun volume otak sudah ditentukan oleh gen masing-masing. Minimal,
sel-sel otak sudah diberi stimulasi (rangsang) sedini mungkin hingga ia dapat
bekerja lebih optimal (Percikaniman: 2008, th)
(c)
Makan
makanan yang halal dan bergizi.
Allah
berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 168
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ wur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
Artinya: “Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qur’an Digital)
Banyak hikmah yang didapat ketika
senantiasa mengkonsumsi makanan halal dan bergizi. Baik dari segi kesehatan ruhani
maupun jasmani. Makanan halal akan memberikan karakter yang baik terhadap
seseorang. Menunjukan ketakwaan seseorang. Makanan akan menjadi darah daging
dalam tubuhnya yang senantiasa digunakan untuk beribadah kepada Allah dan
bekerja. Menjadi sumber energi dalam menjalani kehidupan di muka bumi. Selalu
mengkonsumsi makanan yang halal sama dengan menjaga diri dari kerusakan dunia
dan akhirat. Demikian
pula halnya dengan makanan bergizi (thoyyiban). Kebutuhan tubuh akan
nutrisi yang dibutuhkan perlu dipenuhi. Memenuhi hak tubuh. Memberikan makanan
terbaik menjadikan tubuh senantiasa kuat dan terhindar dari penyakit-penyakit
berbahaya. Gizi yang baik dapat meningkatkan imunitas tubuh sehingga serangan
virus, patogen, dan sel jahat lainnya tidak mampu menembus kekebalan tubuh. Bukankah
mu’min yang kuat lebih baik dari mu’min yang lemah?. Maka dari itu mengkonsumsi
makanan halal dan thayyib tidak sekedar menuntaskan kewajiban, tetapi juga
merupakan sebuah keniscayaan. Terlebih-lebih pada ibu hamil yang sedang
mengandung anaknya. Menurut Ibnu Qayyim (dalam
Ulya, 2012: 20) pemberian makanan dan pengaturan suplai makanan bagi isteri yang
sedang hamil harus lebih dijaga, sebab makanan yang dikonsumsi olehnya
sekaligus akan dikonsumsi oleh bayi dalam kandungannya, dan itu akan mempengaruhi
tumbuh kembang janin dalam kandungan.
(d)
Menjaga
kesehatan fisik dan psikis isteri yang sedang hamil.
Ibnu
Qayyim (dalam Ulya, 2012: 19) menjelaskan bahwa proses pertumbuhan psikis janin
dalam kandungan sangat dipengaruhi oleh faktor internal orangtuanya, terutama
ibu, baik kondisi fisik maupun psikisnya. Sebab, ibu dan janin merupakan satu
unitas organik yang tunggal dan saling berkaitan erat. Keterkaitan ibu dan
janin dalam kandungan oleh Ibnu Qayyim digambarkan seperti keterkaitan dahan
pohon dengan batang pohonnya. Ia menjelaskan bahwa apabila orang tuanya
memiliki keadaan gejala-gejala psikologi, perasaan, dan pikiran tertentu, atau
kepribadian tertentu atau dalam cara mereka merencanakan kehadiran seorang anak
melalui interaksi biologisnya, maka keadaan tersebut akan sangat berpengaruh
pada keadaan konstruksi psikologis dan proses kelangsungan perkembangan
psikologis, baik secara mental maupun emosional anak yang dikandungnya. Bahkan
dapat menentukan kecenderungan ke arah mana anak itu akan berkepribadian dan
berkarakter. Karena pada dasarnya karakter itu menurun.
(3) Pascanatal
Dalam
pendidikan anak pascanatal
ada beberapa fase penting yang harus diperhatikan
sebagai dasar untuk mengarahkan dan memberi pendidikan terhadap anak.
Fase-fase tersebut menurut Ramayulis (2006: 305-322) dapat
dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
(a) Fase
bayi (0 – 2 tahun)
Masa bayi disebut juga masa mulut (oral phrase)
dimana bayi dapat mencapai pemuasan kebutuhan hidupnya
dengan menggunakan mulutnya Oleh karena itu
pendidikan pada fase lebih berpusat pada orang
tua yang memegang peranan utama dalam mendidik anak. Pada awal-awal fase ini,
perkembangan yang paling menonjol adalah pendengaran sebagai lanjutan
perkembangan semasa janin. Kemudian diikuti perkembangan-perkembangan lainnya.
Setelah bayi baru dilahirkan Islam
mengajarkan untuk meng”adzan”kan pada telinga kanan dan meng”iqamah”kan pada
telinga kiri (terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama). Menurut Ibnu
Qayyim dalam bukunya “Tuhfatul Wadud fii Ahkamil Maulud” hikmah mengadzankan
bayi yang baru lahir adalah supaya yang didengarkan bayi tersebut pertama kali
setelah lahir adalah ucapan yang mengagungkan Allah serta syahadat yang pertama
kali memasukkannya ke dalam agama Islam. (Muslimdaily: 2010). Selanjutnya mulai
bayi berumur 7 hari, orangtua juga dianjurkan untuk melaksanakan aqiqah dan
memberi nama yang baik kepada sang bayi. Semua ini tentunya untuk penanaman
pendidikan karakter sedini mungkin.
(b) Fase
kanak-kanak (2 – 6 tahun)
Fase ini disebut sebagai masa
estetika, masa indera dan masa menentang orangtua.
Disebut masa estetika karena pada masa itu
merupakan saat terciptanya perasaan keindahan. Anak-anak
seusia ini senang dengan segala
sesuatu yang indah dan warna-warni. Disebut masa
indera karena pada masa
ini indera berkembang pesat dan senang melakukan
eksplorasi. Kemudian disebut masa menentang karena dipengaruhi oleh menonjolnya
perkembangan berbagai aspek fisik, dan psikis di suatu pihak.
Disisi lain, belum berfungsinya kontrol akal
dan moral. Jadi anak pada masa ini
masih bersifat meniru dan banyak
bermain. Hasil dari kegiatan tersebut akan memberikan keterampilan
dan pengalaman si anak.
Karakteristik
anak pada masa ini adalah mulai dapat mengontrol tindakan; selalu ingin
bergerak; berusaha mengenal lingkungan; perkembangan yang cepat dalam
berbicara; senantiasa ingin memiliki sesuatu; mulai dapat membedakan yang benar dan yang salah.
(c) Fase
anak (6 – 12 tahun)
Pada fase ini juga disebut masa
akhir kanak-kanak (Late Childhood). Masa ini
disebut juga dengan masa berpikir operasional
konkret dan berakhir dengan berpikir operasional formal. Yang dimaksud dengan
operasional konkret adalah anak sudah memiliki
operasi-operasi logis yang dapat diterapkannya pada
masalah-masalah konkret. Bila menghadapi suatu pertentangan antara
pikiran dan persepsi, anak periode ini sudah mampu memilih pengambilan
keputusan logis, bukan keputusan perseptual seperti anak
periode sebelumnya. Sedangkan berpikir operasioanl
formal adalah anak sudah dapat menggunakan
operasi-operasi konkret untuk membentuk operasi-operasi
yang lebih kompleks. Anak tidak perlu berpikir
dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa
konkret, karena dia sudah mempunyai kemampuan berpikir
abstrak.
Pada masa anak-anak ini perasaan ketuhanan
sudah mengarah pada keadaan yang lebih positif bahkan hubungannya dengan
tuhan telah dipenuhi oleh rasa aman dan percaya.
Sehingga sering ditemukan pada usia ini bertambah
rajin melakukan ibadah mereka semakin
senang pergi ke masjid, mengaji, sekolah dan lain
sebagainya. Oleh karena itu sejak dini diupayakan
terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang baik bagi anak.
Mengenai perkembangan
sosial pada fase ini anak sudah mulai
bergaul dengan orang dewasa dan teman
sebayanya karena dia telah memasuki lembaga pendidikan formal.
Untuk itu orang tua harus mencari guru yang
berakhlak baik dan beriman mengingat kemampuan
anak untuk membedakan berbagai pengaruh lingkungannya
masih sangat terbatas. Selain itu juga,
pengaruh pergaulan ini pun sangat besar bagi
pertumbuhan perkembangan jiwa keagamaan dan sosial anak.
(d) Fase
remaja (12 – 21 tahun)
Anak pada fase ini
semakin mampu memahami nilai–nilai yang berlaku dalam
kehidupan. Periode ini sangat baik untuk membantu remaja guna menumbuhkan sikap
bertanggungjawab dan memahami nilai-nilai terutama yang bersumber dari agama
Islam. Dalam konsep sederhana mereka perlu diperkenalkan
tentang konsep agama tentang sikap yang
baik, rasa tanggung jawab di dalam kehidupan
untuk mencapai keselamatan di dunia dan di akhirat.
Proses terbentuknya pendirian
hidup atau pandangan hidup atau cita-cita dapat
dipandang sebagai penemuan nilai-nilai hidup di
dalam eksplorasi si remaja. Proses tersebut ada tiga langkah yaitu:
karena tidak adanya pedoman, si remaja merindukan
sesuatu yang dianggap bernilai, pantas dihargai dan dipuja; kemudian obyek pemujaan menjadi
lebih jelas yaitu pribadi-pribadi yang dipandangnya
mendukung sesuatu nilai sehingga menjadi personifikasi nilai-nilai;
selanjutnya taraf ketiga, si remaja telah dapat menghargai nilai-nilai lepas
dari pendukungnya, nilai sebagai hal yang abstrak.
(e) Fase
dewasa ( 21 ke atas)
Usia dewasa
dimulai sejak berakhirnya kegoncangan-kegoncangan kejiwaan
pada masa remaja. Dengan demikian, usia dewasa bisa dikatakan masa
ketenangan jiwa, ketetapan hati dan
keimanan yang tegas. Karena pada umumnya, ketika
seseorang telah mencapai usia dewasa, dia sudah mempunyai
banyak ilmu pengetahuan dan pengalaman. Dalam menghadapi beberapa
permasalahan, ada yang mampu menyelesaikan dengan
sukses dan ada pula yang mengalami kegagalan. Kegagalan
yang dialami orang dewasa dianggap sebagai suatu kewajaran. Memang
terkadang juga menimbulkan suatu kegoncangan jiwa,
namun pada dasarnya pada usia dewasa
ini mempunyai kesiapan mental dan mampu mengendalikan
diri.
Dengan memperhatikan fase-fase
perkembangan anak semenjak bayi lahir sampai dengan dewasa, maka strategi
pendidikan karakter dalam keluarga yang dapat diterapkan adalah :
(1)
Strategi penanaman nilai-nilai keagamaan dan
kemasyarakatan secara berkesinabungan semenjak lahir.
Islam mengajarkan dalam menumbuhkan
dan mengembangkan karakter seorang anak dengan menanamkan nilai-nilai
ketauhidan dan keagamaan serta nilai-nilai kemasyarakatan semenjak dini, sejak
anak tersebut hadir ke muka bumi, walaupun anak tersebut belum memahami
apa-apa. Hal ini tampak dari perintah mengadzankan, pelaksanaan aqiqah,
pemberian nama yang baik, serta kewajiban mengeluarkan zakat fitrah setelah
anak tersebut lahir.
Penanaman nilai keagamaan dan
kemasyarakatan sangat penting dilakukan sejak dini, karena nilai-nilai inilah
yang mendasari pembentukan karakter anak sebagai makhluk beragama dan makhluk
sosial.
(2)
Strategi
keteladan orang dewasa di rumah tangga.
Seorang
anak dalam bertingkah laku akan banyak mencontoh tingkah laku orang-orang yang
ada di sekitarnya. Oleh karena itu, orangtua dan orang-orang yang ada di
sekitarnya harus mampu memberi keteladanan bagaimana sifat-sifat mulia seperti
; kejujuran, amanah, tablig dan fatanah terus dicontohkan dalam kehidupan
sehari-hari bersama anak. Berbagai sifat-sifat terpuji penumbuhannya harus
dimulai semenjak dini yakni mulai dari rumah tangga atau keluarga. Untuk itulah
pendidikan keluarga sangat berperan penting. Sifat amanah atau kepercayaan,
penghormatan, tanggung jawab, kejujuran, keberanian, keterbukaan, penuh
perhatian, integritas, rajin dan kenegarawanan akan tumbuh dan berkembang bila
ditanamkan semenjak masa kanak-kanak.
(3)
Strategi
pembiasaan.
Pembiasaan
berperilaku yang baik dan adab sopan santun adalah bagian terpenting dalam
pendidikan. Oleh sebab itu anggota keluarga terutama yang sudah dewasa harus
sudah terbiasa dengan perilaku yang positif. Penghargaan kepada anak yang jujur
harus diberikan. Anak yang jujur meskipun memperoleh nilai sekolah rendah lebih
berharga daripada anak yang bohong meskipun nilainya tinggi. Keberanian untuk
jujur perlu pembiasaan. Demikian pula terhadap perilaku-perilaku positif
lainnya.
(4)
Strategi
pengajaran.
Orangtua
harus memberikan petunjuk kepada anak mengenai sesuatu yang baik yang harus
dihayati dan diamalkan dalam perilaku sehari-hari, serta menunjukkan sesuatu
yang tidak baik atau tidak benar yang harus dijauhi. Sehingga anak mengetahui
dan dapat membedakan mana tingkah laku yang baik dan mana tingkah laku yang
tidak baik Informasi dan nasihat perlu
diberikan secara terus menerus kepada anak.
Menutup
pembahasan ini, ada sebuah puisi Dorothy Law Nolte yang berjudul “Children
Learn What They Live” yang dikutip dan diterjemahkan oleh Rakhmat (1998:
187) yang patut kita renungkan bersama yaitu:
ANAK-ANAK BELAJAR DARI KEHIDUPANNYA
Jika anak
dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki;
Jika anak
dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi;
Jika anak
dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri;
Jika anak
dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri;
Jika anak
dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri;
Jika
anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri;
Jika
anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan;
Jika
anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan;
Jika
anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya;
Jika
anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
ia
belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
DAFTAR
RUJUKAN
Al-Mundziri,
Al-Hafizh Zaki Al-Din Abd Al-Azhim. 2003. Ringkasan Shahih Muslim.
(Penerjemah: Achmad Zaidun). Jakarta: Pustaka Amani
Ahmadi,
Abu & Nur Uhbiyati. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Arifin.
1991. Ilmu Pendidikan Islam : Suatu Pendekatan Teoritik dan Praktis
Berdasarkan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.
Arrahmahdotcom.
20013. Penelitian Ilmiah: Pengaruh Bacaan Al Qur’an pada Syaraf, Otak, dan
Organ Tubuh Lainnya. (Online). (https://moeflich.wordpress.com/2013/01/30/penelitian-ilmiah-pengaruh-bacaan-al-quran-pada-syaraf-otak-dan-organ-tubuh-lainnya-subhanallah-menakjubkan/),
diakses: 15 Oktober 2015
Buchori,
Mochtar. 1994. Pendidikan dalam Pembangunan. Yogyakarta: PT.Tiara
Wacana.
Bryson,
John. M. 1999. Perencanaan Strategis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daradjat,
Zakiah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta:
Ruhama.
Depdikbud.
1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Digital
Qur’an. Versi 3.0.4. Sony Sugema 2003-2004
Gunawan,
Heri. 2012. Pendidikan Karakter : Konsep dan Implementasi. Bandung:
Alfabeta.
Hosna,
Rofiatul dan Samsul H.S. 2015. Melejitkan Pembelajaran dengan
Prinsip-prinsip Belajar. Malang: Intelegensia Media.
Intifada,
2010, Pendidikan Islam Pranatal (Dalam Kandungan). (Online). (http://islamualaf.blogspot.co.id/2010/05/pendidikan-islam-pranatal-dalam.html), diakses:
15 Oktober 2015.
Iwan,
Asep. 2012. Pendidikan Islam dan Peranan Keluarga Bagi Pendidikan Anak.
(Online). (http://www.aswanblog.com/2012/12/pendidikan-keluarga-bagi-anak.html),
diakses: 14 Oktober 2015.
Kasali,
Rhenald. 1994. Manajemen Public Relations
: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kemdikbud. Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Online). (http://kbbi.web.id/karakter), diakses 13 Oktober 2015.
Khan, Yahya. 2010. Pendidikan Karakter
Berbasis Potensi Diri : Mendongkrak Kualitas Pendidikan. Yogyakarta:
Pelangi Publishing.
Langgulung, Hasan. 1988. Asas-asas
Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Langgulung, Hasan. 2004. Manusia dan
Pendidikan : Suatu Analisa Psikologis, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta
Pustaka Al-Husna Baru.
Majid, Abdul & Dian Andayani. 2010. Pendidikan
Karakter Perspektif Islam. Bandung: Insan Cita Utama.
Muslimdaily.
2010. Hukum Mengadzani Bayi yang Baru Lahir. (Online). (http://www.muslimdaily.net/konsultasi/syariah/hukum-mengadzani-bayi-yang-baru-lahir.html),
diakses: 16 Oktober 2015.
Nata,
Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Purwanto,
M. Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Percikaniman.
2008. Al-Quran Bisa Mencerdaskan Janin. (Online). (http://www.percikaniman.org/category/tanya-jawab-islam/al-quran-bisa-mencerdaskan-janin),
diakses: 16 Oktober 2015.
Rakhmat,
Jalaluddin. 1998. Islam Aktual. Bandung: Mizan
Rahajoekoesoemah,
Datje. 1993. Kamus Belanda-Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Ramayulis.
2006. Ilmu Pendidikaqn Islam, Jakarta: Kalam Mulia
Rusyan,
Tabrani, et al. 1989. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Remadja Karya.
Sadulloh,
Uyuh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Sanjaya,
Wina. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Prenada Media
Sedekah
Doa. 2015. Hubungan Seks Suami Isteri Adalah Sedekah. (Online). (https://sedekahdoa.wordpress.com/hubungan-seks-suami-istri-adalah-sedekah/),
diakses: 15 Oktober 2015
Sudjana,
Nana. 2005. Strategi Pembelajaran. Bandung: Falah Production.
Sutikno,
Sobry. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Prospect
Ulya,
Nur Maziyah. 2012. Pemikiran Ibnu Qayyim Al Jauziyyah tentang Pendidikan
Prenatal. Semarang: IAIN Walisongo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar